Jumat, 31 Mei 2013

Identitas Bangsa bagi Pembangunan Indonesia


Pembangunan adalah kata yang tidak pernah usang untuk dikatakan dan merupakan suatu proses yang tidak pernah usai bagi suatu bangsa. Begitu juga bagi bangsa Indonesia. Dari mulai kemerdekaan diucapkan pada seremonial proklamasi oleh Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno, agenda utama yang akan dijalankan oleh bangsa Indonesia adalah pembangunan yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Mulai dari pembangunan hukum, budaya, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. 
     TELAH lebih dari setengah abad kita merdeka. Artinya, telah lebih dari setengah abad kita berupaya membangun dan mengisi kemerdekaan ini dengan pembangunan yang beraneka ragam. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah pembangunan macam apa yang telah kita capai dan yang akan kita upayakan untuk dicapai? 
    Selama ini ukuran suatu keberhasilan dari suatu proses pembangunan adalah kuantitas pencapaian dari suatu pembangunan itu sendiri. Swasembada pangan, ekonomi yang meningkat, rakyat yang tidak lapar, pengangguran yang berkurang, iklim investasi yang bergairah, dan lain sebagainya yang seluruhnya diukur dari kuantitas hasil pembangunan itu sendiri. Namun, di sisi lain kita tidak pernah memikirkan kualitas dari pembangunan yang telah kita capai dan akan kita capai.
    Di tengah arus globalisasi, di mana perubahan berjalan begitu cepat dan ketertinggalan dalam satu langkah saja dapat berarti kegagalan yang besar bagi suatu negara telah menuntut seluruh masyarakat dunia untuk terus bergerak ke arah pembaruan yang tentunya diawali dengan pembangunan. 
    Namun, tanpa kita sadari upaya bangsa Indonesia yang selama ini berusaha untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan demi mengejar pergerakan dunia telah meninggalkan kualitas pembangunan itu sendiri. Kualitas suatu bangsa diukur tidak dari kuantitas hasil yang dicapai semata, tapi juga diukur dari apakah pembangunan itu memiliki karakter identitas suatu bangsa atau tidak. 
    Seluruh elemen bangsa sadar bahwa pembangunan dan pencapaian ekonomi adalah jalan untuk membesarkan nama bangsa dan negara di dunia internasional. Namun, kita tidak sadari hilangnya karakter identitas bangsa adalah juga jalan untuk suatu bangsa dianggap tidak berarti di dunia internasional. 
    Bisa kita anggap pembangunan bangsa selama ini secara kuantitas ada yang dikatakan berhasil. Namun, bagaimana dengan program pembangunan karakter manusia Indonesia yang merupakan subjek utama pembangunan yang seharusnya juga merupakan objek utama pembangunan itu sendiri? 
    Dirumuskannya nilai yang amat kompleks oleh pendiri bangsa dalam Pancasila dan pembukaan UUD RI 1945 adalah dimaksudkan agar dalam semua segi pembangunan yang diupayakan haruslah mencirikan identitas bangsa sebagai bangsa yang Pancasilais. Karena tanpa identitas itu, niscaya bangunan yang dihasilkan dari suatu pembangunan apa pun akan mudah goyah dan roboh hanya dengan terpaan angin kecil. 
    Kegagalan dalam pembangunan identitas pada manusia-manusia bangsa akan berdampak besar bagi kegagalan dalam pembangunan bangsa di segala aspek. Sekarang bangsa Indonesia sedang mengalami krisis identitas bangsa sebagai bangsa yang seharusnya Pancasilais dan memiliki budaya ketimuran. 
Dalam masyarakat kita kini sulit untuk menemukan fenomena kemasyarakatan yang mencerminkan nilai-nilai sebagai bangsa yang memiliki nilai Pancasila sebagai landasan ideologinya. Nilai-nilai ketimuran sebagai bangsa yang kental akan nilai sopan santun. Kesemua nilai-nilai tersebut hanya dapat kita temukan dalam tulisan dan jarang kita temukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Krisis identitas ini jauh lebih membahayakan bagi bangsa Indonesia dibandingkan krisis ekonomi yang menimpa Indonesia sekarang ini. Karena tanpa adanya perbaikan, suatu saat nanti bangsa ini akan lenyap. Sebagai bangsa tidak dikenal karena namanya saja, tapi juga ciri khas dan identitas bangsanya. Tanpa itu semua, kita tidaklah memiliki perbedaan dengan bangsa lain yang ada di dunia. 
    Nasionalisme kini hanya dijadikan kata-kata politis yang bernilai formalitas dan tidak substansial. Bisa kita lihat bagaimana pemuda bangsa Indonesia mulai bernilai hedonis dan pragmatis tidak lagi memiliki rasa peduli pada sesama dan cinta akan bangsanya. Kita hanya punya nasionalisme dan peduli pada nilai serta budaya bangsa tatkala nilai dan budaya itu hendak direnggut oleh bangsa lain, tapi kata kita pernah perduli sebelumnya. 
Proses pembangunan bangsa selama ini tanpa disadari telah menggerus identitas kita sebagai bangsa. Memanusiakan manusia yang merupakan ungkapan pendiri bangsa telah kita lupakan karena fokus pembangunan kita tidak pada memanusiakan manusia. Kita lebih mengejar formalitas pembangunan tanpa tahu substansi pembangunan itu sendiri. 
    Hasil yang kita peroleh sekarang ini pembangunan ekonomi yang liberalis. Jumlah peningkatan orang kaya Indonesia, termasuk yang terbesar di Asia. Namun, jumlah orang miskin juga menjadi yang terbesar di Asia. Adalah bentuk pembangunan ekonomi yang tidak didasari oleh identitas bangsa. 
Pembangunan budaya yang lebih mengarah ke hedonisme dan pragmatisme. Nilai-nilai spiritual dan religius sebagai bangsa kini sudah memudar dalam masyarakat kita. Para pemuda lebih senang dengan budaya asing yang minim nilai sopan santun dan spiritual religius dibandingkan budaya timur yang kaya akan nilai sopan santun dan spiritual religius. Masih banyak lagi kegagalan proses pembanguan bangsa ini sebagai akibat krisis identitas kita sebagai bangsa.
Fenomena yang mesti kita terima dari semua itu adalah budaya di mana kita sebagi bangsa kita sudah tidak memiliki malu lagi berbuat curang. Kita terbiasa untuk bertindak korup dan berbuat khianat. Kini kita sudah menganggap suatu hal yang biasa masuk-keluar pengadilan bahkan penjara, di saat di belahan dunia lain bisa kita temukan bagaimana bangsa-bangsa lain memiliki harga diri. Ketika baru saja dituduh berbuat curang, mereka sudah siap meninggalkan apa yang mereka miliki. Sedangkan kita sebagai bangsa, masihkah kehormatan dan harga diri itu kita miliki tidakkah kita rela menjualnya demi keuntungan materi? Pertanyaan besar bagi bangsa yang besar dalam kuantitas, tapi kecil akan kualitas. Bangsa ini sakit dan obatnya adalah kembali pada karakter dan identitas kita sebagai bangsa Indonesia.

Potensi Geografis Indonesia



Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah. Hutan, sungai, maupun lautnya memiliki potensi melimpah. Sayangnya, potensi ini sangat minim tergali.
Hal yang juga menjadi persoalan dari penggalian potensi ini adalah masih minimnya peneliti lokal yang melakukan riset atas berbagai potensi alam Indonesia. Potensi-potensi ini justru tergali dan ditemukan oleh para peneliti asing. Akibatnya, ketika temuan ini dipatenkan pihak asing maka bangsa ini kembali harus kehilangan ‘kekayaannya’.
Hubungan Geografi dan Ekonomika
Tumbuhnya kesadaran mengenai terbatasnya daya penjelas teori-teori lokasi yang tradisional dalam menganalisis geografi ekonomi telah mendorong munculnya paradigma baru yang disebut geografi ekonomi baru ( new economc geography atau geographycal economics ) ( Fujita dan Thisse, 1996 ).
Paul Krugman, mahaguru dari Massachusetts Institute of Technology, telah membuka misteri ( black box ) eksternalitas ekonomi dan secara eksplisit memasukan dimensi spasial dan semangat ‘proses kumulatif’ dalam deskripsi pembangunan perkotaan dan regional ( krugman, 1996 ). Krugman menjelaskan mengapa terjadi konsentrasi spasial di kota-kota besar negara sedang berkembang.
Hal yang terjadi adalah terjadi perbedaan atas pembangunan daerah tidak terbatas pada struktur industri dan eksternalitas. Namun, perbedaan diperluas pula pada pernyataan transaksi yang tidak melaluli pasar dan cara bagaimana meningkatkan kekuatan produsen besar dikaitkan dengan lokalisasi industri secara kontemporer ( Martin dan Sunley, 1996 )
Singkatnya , paradigma baru yang muncul dalam analisis spasial adalah mengkombinasikan pendekatan ilmu ekonomi dan geografi atau disebut geografi ekonomi. Ilmu ekonomi arus utama ( mainstream economics ) memang cenderung mengabaikan dimensi “ruang” atau “spasial”.
Dengan kata lain, ekonomi arus utama cenderung aspasial ( spaceless ). Ini terlihat dari inti analisis ekonomi konvensional yang cenderung menjawab pertanyaan ekonomi seputar what to produce, how to produce, dan for whom to produce. Namun geografi sendiri itu cenderung membahas where to produce dan why to produce.
Aspek-aspek spasial tetap merupakan blind spot bagi mayoritas ekonomi karena ketidak mampuan para ekonom untuk menciptakan model yang menjelaskan berbagai macam aspek lokasi industri ( Krugman, 1995: 31-7 ). Sementara itu, geografi merupakan studi mengenai pola spasial diatas permukaan bumi, yang menjawab pertanyaan where ( dimana aktifitas manusia berada ) dan why ( mengapa lokasi perusahaan atau industri berada disitu ).
Dalam perspektif geografi ekonomi, aspek pola spasial aktivitas ekonomi menjadi pusat perhatian utama dengan digunakannya Sistem informasi Geografi dan Menjawab pertnyaan sentral dalam ekonomi regional, yaitu “dimana” ( where ) lokasi industri berada dan “mengapa” ( why ) terjadi konsentrasi geografi industri manufaktur.
Peranan wilayah subnasional, yaitu apakah kabupaten atau kota yang mempengaruhi lokasi aktivitas ekonomi, tampaknya semakin penting dalam studi geografi ekonomi. Ohmae menjelaskan bahwa dalam dunia tanpa batas, region state akan menggantikan negara bangsa (national state) sebagai pintu gerbang untuk memasuki perekonomian global (Ohmae, 1995).
Potensi Geografis dan Karakteristik Spasial Indonesia
Sumberdaya wilayah di Indonesia sangat dipengaruhi oleh aspek geografis secara keruangan, kelingkungan maupun kewilayahan. Sebagai negara kepulauan yang luas dengan jumlah pulau yang banyak memiliki sumberdaya laut (marine resources) dan daratan (land resources) yang perlu dikelola secara terintegrasi. Aspek klimatologi, geologis/ geomorfologis, hidrologis, biotis dan manusia serta sosio kulturnya yang beragam sangat penting dikaji dalam mengelola sumbedaya wilayah untuk kesejahteraan bangsa.
Selain tinjauan aspek lingkungan dan kebencanaan alam yang terjadi disetiap wilayah provinsi, kabupaten/kota perlu dijadikan kriteria dalam perencanaan pembangunan (pengembangan industri) wilayah dan implementasinya. Sebagai negara tropis, visi pembangunan di Indonesia perlu memantapkan diri sebagai Negara pertanian yang kuat melalui konsep agro produksi, agroindustri, agrobisnis, agroteknologi dan agrososio kultur serta tourisme.
Pendekatan ini dapat mengurangi resiko kerusakan lingkungan dan bencana alam bila dikelola dengan baik sesuai dengan daya dukung lingkungan, oleh karena itu pembangunan nasional kedepan diutamakan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan IPTEKS untuk kehidupan. Pengelolaan sumberdaya wilayah/ ruang berkelanjutan dapat dicapai dengan mempertimbangkan keberlanjutan ekologi ekonomi, manajemen sumberdaya dan lingkungan, keberlanjutan teknologi dan sosio kultur.
1. Potensi Geografis Indonesia
Negara Republik Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari 13667 pulau dengan 5 pulau besar, berbatasan dengan laut Andawan, China Selatan, Malaysia, Phillipina dan Samudera Pasifik, Hindia dan Australia. Bentang alam di daratan barat mempunyai perairan dangkal (Dangkalan Sunda), daratan timur mempunyai perairan dangkalan (Dangkalan Sahul) dan cekungan tengah memiliki perairan laut dalam dengan beberapa palung laut.
Daratan Indonesia sebagian besar kelanjutan dari jalur pegunungan Sirkum Pasifik dan jalur Sirkum Mediteran. Dataran rendah dan luas ada di Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya dan Jawa. Terdapat gunung api aktif sekitar 200 dan yang 70 berada di Pulau Jawa. Selain hasil erupsi gunung api yang memberikan lahan subur pada lerengnya, juga ada resiko bencana gunung api. Sungai-sungai dan muara juga terdapat di pulau-pulau besar yang potensial dikelola untuk kehidupan demikian danau-danau besar di Sumatera, Sulawesi, Jawa, Kalimantan. Diperkirakan sekitar 7.623 pulau di Indonesia belum punya nama (ensiklopedia Indonesia seri Geografis, 1997).
Potensi flora di Indonesia beragam sesuai dengan kondisi ekosistemnya. Tumbuhan terdapat pada zona elevasi < 700 m, 1.500 – 2.500 m dan diatas elevasi 2.500 m dpal. Sebaran flora mulai dari kawasan pantai, dataran rendah dan berawa, lereng kaki gunung hingga pegunungan. Demikian corak fauna yang beragam dan khas (corak Australia).
Penduduk yang beragam suku dan bahasanya serta agama terdapat di wilayah Indonesia yang diperkirakan 300 kelompok etnik (suku bangsa). Ratusan bahasa lisan (daerah) di jumpai di Indonesia, sedangkan bahasa resmi adalah bahasa Indonesia. Beragam seni dan budaya yang dimiliki oleh berbagai kelompok etnik tersebut.
Berdasarkan kondisi geografis tersebut dan kehidupan sejak jaman kerajaan, maka urutan potensi pemanfaatan sumberdaya wilayah meliputi:
1. Pertanian
2. Perkebunan
3. Kehutanan
4. Perikanan
5. Peternakan
6. Pariwisata
7. Pertambangan
8. Industri dan jas
9. Perdagangan
2. Karakteristik Spasial Potensi Geografis
Pembangunan wilayah pengembangan industri ditinjau dari aspek spasial dan sektoral di Indonesia perlu memperhatikan zona potensi geografis yang merupakan pendekatan spasial-ekologikal untuk menuju kesejahteraan rakyat. Pemecahan masalah pembangunan dan upaya memajukan rakyat dapat dikelompokkan atas 5 (lima) tipologi wilayah pembangunan geografis yaitu:
1. Wilayah dengan sumberdaya alam melimpah (kaya) dan sumberdaya manusia yang banyak seperti Pulau Jawa dan Bali.
2. Wilayah dengan sumberdaya alam melimpah (kaya) dan sumberdaya manusia sedikit seperti Pulau Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi.
3. Wilayah dengan sumberdaya alam sedikit dan sumberdaya manusia terlalu banyak seperti Jakarta dan kota – kota besar lainnya.
4. Wilayah dengan sumberdaya alam sedikit dan sumberdaya manusia sedikit seperti Nusa Tenggara dan Maluku.
5. Wilayah dengan sumberdaya alam yang belum diketahui potensinya dan belum ada manusianya seperti pulau-pulau kecil yang belum dihuni.
Dengan zonasi potensi geografis, maka pembangunan (pengembangan industri) sektoral dapat diarahkan terutama untuk pembangunan di kawasan tertinggal seperti pada zona Maluku dan Nusa Tenggara. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan dapat diarahkan agar resiko kerusakan lingkungan dan bencana alam di tiap zona tersebut dapat dikendalikan.
Konsentrasi Spasial di Indonesia
Salah satu ciri yang menonjol dari perkembangan industri di Indonesia adalah semakin terbuka dan semakin berorientasi ekspornya dalam sektor manufaktur.
Pembangunan industri dan aktivitas bisnis Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir cenderung bias ke pulau Jawa dan sumatra. Karena industri manufaktur Indonesia cenderung terkonsentrasi secara spasial di jawa sejak tahun 1970-an (aziz, 1994; Hill, 1990). Pulau jawa menyumbang sekitar 78-82% tenaga kerja yang bekerja disektor industri Indonesia dari tahun 1976-2001. Pulau Sumatra menyerap 12% kesempatan kerja disektor indistri. Kalimantan dan pulau-pulau lainnya di kawasan timur Indonesia memainkan peran yan relatif minoritas dalam sektor industri manufaktur.
Dari pernyataan di atas membuktikan bahwa pengelompokan industri dan orientasi ekspor secara spasial telah terjadi dalam tingkat yang fantastis di pulau Jawa dan Sumatra di bandingkan pulau lain di Indonesia.
Ketekaitan antara kawasan industri, pelabuhan, dan penduduk dengan kecenderungan lokasi industri manufaktur berorientasi ekspor. Wahyudin (2004: bab 4) menemukan bahwa koefisien korelasi antara industri manufaktur berorientasi ekspor dan luas kawasan industri menunjukan angka terbesar, kemudian diikuti oleh pelabuhan dan penduduk. Dengan kata lain, industri yang berada di kawasan industri kebanyakan merupakan industri berorientasi ekspor.
Dalam pengembangannya, industri hanya berkembang di kawasan yang padat penduduk seperti Jawa dan Sumatra. Yang jadi pertanyaan besar apakah pulau-pulau lain di indonesia selain tidak akan berkontribusi banyak dalam hal pengembangan industri?
Kita tahu indonesia terkenal dengan sebutan negara maritim dimana secara geografis daerah yang berbasis maritim memiliki luas lautan lebih dominan dari pada pulau daratannya. Contohnya Provinsi Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung.
Pada hakikatnya aktivitas ekonomi adalah arus kausalitas dari tiga hal yakni Produksi, Distribusi dan Konsumsi. Dari sinilah seharusnya pembangunan ekonomi nasional dalam hal pengembangan industri dapat di mulai, di tata, di regulasi dan distimulasi hingga akhirnya membawa pada kemajuan negeri. Meningkatkan daya saing pada ranah ekonomi hakikatnya adalah menguatkan tiga arus ekonomi tersebut. Yang terpenting di perhatikan adalah dengan posisi, kemampuan, peluang dan tatangan dunia dewasa ini apakah yang dapat di upayakan demi menjapai kemandirian dan keunggulan daya saing Indonesia.
Dengan memperhatikan letak geografi pengembangan industri tersebut, maka sebenarnya tidak ada masalah untuk mendirikan suatu industri di kawasan atau di pulau mana pun, yang apaling penting dari pengembangan industri ini adalah tersedianya bahan baku atau sumber daya yang akan di olah oleh masing-masing produksi.
Coba bayangkan jika para pengembang industri dalam pengembangannya memperhatikan aspek geografi dengan memperhatikan lingkungan sekitar dan sumber daya yang dapat diolah maka akan terjadi pemerataan industrialisasi di seluruh Indonesia. Tidak hanya Jawa dan Sumatra yang mengumbang besar dalam sektor industri namun pulau-pulau lain pun harus memeratakan kontribusinya dalam menyumbang industrialisasi, salah satu cara untuk pemerataan industrialisasi adalah dengan mendorong pengembangan industri didaerah yang masih belum optimal untuk dijadikan daerah pengembang industri dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia.
Opini :
Keindahan alam dan keanekaragaman yang di miliki Indonesia saja bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi penduduk dunia, dari sini indonesia bisa mendatangkan Wisatawan Asing maupun Lokal untuk berkunjung dan berwisata di Indonesia, ini akan menjadi masukan luar biasa dari sektor pariwisata untuk meningkatkan roda perekonomian masyarakat dan penduduk sekitar, juga menambah devisa Negara. belum lagi potensi pendapatan dari sektor migas dan pertambangan, rasanya sangat tidak mungkin Indonesia di sebut Negara miskin.
Letak geografis Indonesia juga berada di posisi strategis yaitu di antara benua asia dan Australia serta di apit oleh dua Samudra, Hindia dan Pasifik. Dari posisi geografis ini memungkinkan Indonesia menjadi persimpangan lalu lintas dunia juga sebagai titik persilangan Negara-negara industri dan Negara yang sedang berkembang seperti RRC,Jepang,Korea,dengan Negara di Asia,Afrika,juga Eropa.
Dari letak astronomis dan geografis ini saja, Indonesia sudah sangat di untungkan, seharusnya Indonesia lebih bisa memaksimalkan potensi strategis lain, demi meningkatkan perekonomian yang saat ini pasang-surut. Kita tahu saat ini krisis ekonomi global sedang menghantui Negara maju tapi hal itu tidak berdampak signifikan pada pertumbuhan perekonomian Indonesia justru Indonesia harus bisa ngengambil keuntunagan dari krisis global tersebut dengan mendatangkan Investor demi meningkatkan ekonomi Nasional.

Sumber : DAFTAR PUSTAKA
* Kuncoro, Mudrajat. Ekonomika Industri Indonesia “Menuju Negara Industri Maju 2030”, Andi Yogyakarta. Yogyakarta, 2007
* Worosuprodjo, Suratman. “Mengelola Potensi Geografis Indonesia Untuk Pembangunan Wilayah Berkelanjutan”.
* Rafiq Iskandar, Zulfa. ”Pembangunan Ekonomi Kelautan Indonesia”. Bloghttp://www.wordpress.com. 2009
Idris, Fahmi. ”Kebijakan dan Strategi Pengembangan Industri Nasiona”. Artikelhttp://www.setneg.go.id. 200
sumber : http://aziz27.wordpress.com/2009/11/05/pengembangan-industri-dan-potensi-geografi-indonesia/

PERBATASAN WILAYAH RI, PERJANJIAN DAN PERMASALAHAN YANG ADA



Indonesia memiliki wilayah perbatasan dengan 10 negara, baik perbatasan darat maupun perbatasan laut. Batas darat wilayah Republik Indonesia bersinggungan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea, dan Timor Leste.
Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik  berbeda-beda. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua New Guinea.
Di antara wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga, terdapat 92 pulau-pulau kecil. Ada 12 pulau-pulau kecil yang menjadi prioritas pengelolaan karena mempunyai nilai yang sangat strategis dari sisi pertahanan keamanan dan kekayaan sumber daya alam. 12 Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) tersebut adalah Pulau Rondo di NAD, Pulau Berhala di Sumatera Utara, Pulau Nipa dan Sekatung di Kepulauan Riau, Pulau Marampit, Pulau Marore dan Pulau Miangas di Sulawesi Utara, Pulau Fani, Pulau Fanildo dan Pulau Brass di Papua, serta Pulau Dana dan Batek di Nusa Tenggara Timur.
Kawasan-kawasan perbatasan tersebut memegang peranan penting dalam kerangka pembangunan nasional. Kawasan perbatasan dalam perkembangannya berperan sebagai beranda Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan cermin diri dan tolok ukur pembangunan nasional. Kedudukannya yang strategis menjadikan pengembangan kawasan perbatasan  salah satu prioritas pembangunan nasional.
Survei mengenai penetapan Titik Dasar atau Base Point telah dilaksanakan oleh Dishidros TNI AL pada tahun 1989 hingga 1995 dengan melakukan Survei Base Point sebanyak 20 kali dalam bentuk survei hidro-oseanografi. Titik-titik Dasar tersebut kemudian diverifikasi oleh Bakosurtanal pada tahun 1995-1997.
Pada tahun 2002, Pemerintah RI menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002, tentang “Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia”, di mana di dalamnya tercantum 183 Titik Dasar perbatasan wilayah RI. Namun demikian, terlepas dari telah diterbitkannya PP 38 Tahun 2002, telah terjadi perubahan-perubahan yang tentunya mempengaruhi konstelasi perbatasan RI dengan negara tetangga seperti Timor Leste pasca referendum dan status Pulau Sipadan-Ligitan pasca keputusan Mahkamah Internasional.  
Di samping itu, patut pula dipertimbangkan untuk melakukan penge-cekan ulang terhadap pilar-pilar yang dibuat pada saat Survei Base Point yang dilakukan pada sekitar 10 tahun lalu. Monumentasi ini perlu dilakukan sebagai bukti fisik kegiatan penetapan yang telah dilakukan serta menjadi referensi bila perlu dilakukan survei kembali di masa mendatang.
Hingga saat ini terdapat beberapa permasalahan perbatasan antara Indonesia dengan negara tetangga yang masih belum diselesaikan secara tuntas. Permasalahan perbatasan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik yang telah disepakati namun juga menyangkut cara hidup masyarakat di daerah tersebut, misalnya para nelayan tradisional atau kegiatan lain di sekitar wilayah perbatasan.
RI – Malaysia
Kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia dengan Malaysia di wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang pene-tapan garis batas landas kontinen antara kedua negara (Agreement Between Government of the Republic Indonesia and Government Malaysia relating to the delimitation of the continental shelves between the two countries), tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969.
Berikutnya adalah Penetapan Garis Batas Laut Wilayah RI – Malaysia di Selat Malaka pada tanggal 17 Maret 1970 di Jakarta dan diratifikasi dengan Undang-undang  Nomor 2  Tahun 1971 tanggal 10 Maret 1971.  Namun untuk garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di Selat Malaka dan Laut China Selatan antara kedua negara belum ada kesepakatan.
Batas laut teritorial Malaysia di Selat Singapura terdapat masalah, yaitu di sebelah Timur Selat Singapura, hal ini mengenai kepemilikan Karang Horsburgh (Batu Puteh) antara Malaysia dan Singapura. Karang ini terletak di tengah antara Pulau Bintan dengan Johor Timur, dengan jarak kurang lebih 11 mil. Jika Karang Horsburg ini menjadi milik Malaysia maka jarak antara karang tersebut dengan Pulau Bintan kurang lebih 3,3 mil dari Pulau Bintan.
Perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimatan Timur (perairan Pulau Sebatik dan sekitarnya) dan Perairan Selat Malaka bagian Selatan, hingga saat ini masih dalam proses perundingan.  Pada segmen di Laut Sulawesi, Indonesia menghendaki  perundingan batas laut teritorial terlebih dulu baru kemudian merundingkan ZEE dan Landas Kontinen. Pihak Malaysia berpendapat perundingan batas maritim harus dilakukan dalam satu paket, yaitu menentukan batas laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen.
Sementara pada segmen Selat Malaka bagian Selatan, Indonesia dan Malaysia masih sebatas tukar-menukar peta illustrasi batas laut teritorial kedua negara.
RI – Thailand
Indonesia dan Thailand telah mengadakan perjanjian landas kontinen di Bangkok pada tanggal 17 Desember 1971, perjanjian tersebut telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 21 Tahun 1972. Perjanjian perbatasan tersebut merupakan batas landas kontinen di Utara Selat Malaka dan Laut Andaman.
Selain itu juga telah dilaksanakan perjanjian batas landas kontinen antara tiga negara yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia yang diadakan di Kuala Lumpur pada tanggal 21 Desember 1971. Perjanjian ini telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 20 Tahun 1972.
Perbatasan antara Indonesia dengan Thailand yang belum diselesaikan khususnya adalah perjanjian ZEE.
RI – India
Indonesia dan India telah mengadakan perjanjian batas landas kontinen di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974 dan telah diratifikasi dengan Keppres Nomor 51 Tahun 1974 yang meliputi perbatasan antara Pulau Sumatera dengan Nicobar.
Selanjutnya dilakukan perjanjian perpanjangan batas landas kontinen di New Dehli pada tanggal 14 Januari 1977 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1977 yang meliputi Laut Andaman dan Samudera Hindia.
Perbatasan tiga negara, Indonesia-India- Thailand juga telah diselesaikan, terutama batas landas kontinen di daerah barat laut sekitar Pulau Nicobar dan Andaman. Perjanjian dilaksankaan di New Delhi pada tanggal 22 Juni 1978 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 25 Tahun 1978. Namun demikian kedua negara belum membuat perjanjian perbatasan ZEE.
RI – Singapura
Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Singapura telah dilaksanakan mulai tahun 1973 yang menetapkan 6 titik koordinat sebagai batas kedua negara. Perjanjian tersebut kemudian diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1973.
Permasalahan yang muncul adalah belum adanya perjanjian batas laut teritorial bagian timur dan barat di Selat Singapura. Hal ini akan menimbulkan kerawanan, karena Singapura melakukan kegiatan reklamasi wilayah daratannya. Reklamasi tersebut mengakibatkan wilayah Si-ngapura bertambah ke selatan atau ke Wilayah Indonesia.
Penentuan batas maritim di sebelah Barat dan Timur Selat Singapura memerlukan perjanjian tiga negara antara Indonesia, Singapura dan Malaysia. Perundingan perbatasan kedua negara pada Segmen Timur, terakhir dilaksanakan pada 8-9 Februari 2012 di Bali (perundingan ke-2).
RI – Vietnam
Perbatasan Indonesia – Vietnam di Laut China Selatan telah dicapai kesepakatan, terutama batas landas kontinen pada tanggal 26 Juni 2002. Akan tetapi perjanjian perbatasan tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia. Selanjutnya Indonesia dan Vietnam perlu membuat perjanjian perbatasan ZEE di Laut China Selatan. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan pada 25-28 Juli 2011 di Hanoi (perundingan ke-3).
RI – Philipina
Perundingan RI – Philipina sudah berlangsung 6 kali yang dilaksanakan secara bergantian setiap  3 – 4 bulan sekali. Dalam perundingan di Manado tahun 2004, Philipina sudah tidak mempermasalahkan lagi status Pulau Miangas, dan sepenuhnya mengakui sebagai milik Indonesia.
Hasil perundingan terakhir penentuan garis batas maritim Indonesia-Philipina dilakukan pada bulan Desember 2005 di Batam. Indonesia menggunakan metode proportionality dengan memperhitungkan lenght of coastline/ baseline kedua negara, sedangkan Philipina memakai metode median line. Untuk itu dalam perundingan yang akan datang kedua negara sepakat membentuk Technical Sub-Working Group untuk membicarakan secara teknis opsi-opsi yang akan diambil.
RI – Palau
Perbatasan Indonesia dengan Palau terletak di sebelah utara Papua. Palau telah menerbitkan peta yang menggambarkan rencana batas “Zona Perikanan/ZEE”  yang diduga melampaui batas yurisdiksi wilayah Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya nelayan Indonesia yang melanggar wilayah perikanan Palau. Permasalahan ini timbul karena jarak antara Palau dengan Wilayah Indonesia kurang dari 400 mil sehingga ada daerah yang overlapping untuk ZEE dan Landas Kontinen. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan pada 29 Februari – 1 Maret 2012 di Manila (perundingan ke-3).
RI – Papua New Guinea
Perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea telah ditetapkan sejak 22 Mei 1885, yaitu pada meridian 141 bujur timur, dari pantai utara sampai selatan Papua. Perjanjian itu dilanjutkan antara Belanda-Ing-gris pada tahun 1895 dan antara Indonesia-Papua New Guinea pada tahun 1973, ditetapkan bahwa perbatasan dimulai dari pantai utara sampai dengan Sungai Fly pada meridian 141° 00’ 00” bujur timur, mengikuti Sungai Fly dan batas tersebut berlanjut pada meridian 141° 01’ 10” bujur timur sampai pantai selatan Papua.
Permasalahan yang timbul telah dapat diatasi yaitu pelintas batas, penegasan garis batas dan lainnya, melalui pertemuan rutin antara delegasi kedua negara. Masalah yang perlu diselesaikan adalah batas ZEE sebagai kelanjutan dari batas darat.
RI – Australia
Perjanjian Batas Landas Kontinen antara Indonesia-Australia yang dibuat pada 9 Oktober 1972 tidak mencakup gap sepanjang 130 mil di selatan Timor Leste. Perbatasan Landas Kontinen dan ZEE yang lain, yaitu menyangkut Pulau Ashmore dan Cartier serta Pulau Christmas telah disepakati dan telah ditandatangani oleh kedua negara pada tanggal 14 Maret 1997, sehingga praktis tidak ada masalah lagi. Mengenai batas maritim antara Indonesia – Australia telah dicapai kesepakatan yang ditandatangani pada 1969, 1972 dan terakhir 1997.
RI – Timor Leste
Perundingan batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste belum pernah dilakukan, karena Indonesia menghendaki penyelesaian batas darat terlebih dahulu baru dilakukan perundingan batas maritim. Dengan belum selesainya batas maritim kedua negara maka  diperlukan langkah-langkah terpadu untuk segera mengadakan pertemuan guna membahas masalah perbatasan maritim kedua negara.
Permasalahan yang akan sulit disepakati adalah adanya kantong (enclave) Oekusi di Timor Barat. Selain itu juga adanya entry/exit point Alur Laut Kepulauan Indonesia III A dan III B tepat di utara wilayah Timor Leste.
Sumber :

kesimpulan: Berdasarakan apa yang telah saya baca di atas negara indonesia adalah negara kepulauan yang besar sehingga berbatasan dengan beberapa negara. Namun Indonesia kurang mampu untuk mengelola kekayaan yang banyak terdapat di negara ini. Tidak jarang kita menemui konflik yang terjadi di daerah perbatasan. Karena luasnya dan banyaknya pulau di Indonesia maka hal tersebut sering terjadi, maka sebagai warga negara yang baik kita selaku warga negara harus menjaga keamanan negara kita sendiri, sehingga keutuhan persatuan dan wilayah kita tetap aman dan terjaga.